Ketua Komisi II Tak Setuju Caleg Harus Ber-KTP dan 5 Tahun Tinggal di Dapil
JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda tak sepakat dengan syarat ber-KTP dan tinggal minimal 5 tahun di daerah pemilihan (Dapil) bagi calon anggota legislatif (caleg) DPR RI. Hal itu disampaikan Rifqi saat menanggapi adanya gugatan uji materi Undang-Undang (UU) Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK), khususnya mengenai syarat pendaftaran caleg. “Saya kurang sepakat dengan substansi bahwa caleg, apalagi anggota DPR terpilih, harus berasal dari dapil setempat, terlebih bukti yang digunakan hanya sekadar administratif, sebagaimana permohonan ke Mahkamah Konstitusi ini yang dibuktikan dengan KTP selama 5 tahun,” ujar Rifqi saat dihubungi, Kamis (6/3/2025). Politikus Partai Nasdem ini berpendapat, keberpihakan seorang anggota DPR RI terhadap dapilnya tak bisa diukur hanya lewat data administrasi kependudukan, misalnya KTP ataupun catatan tinggal.
“Keberpihakan terhadap Dapil itu bisa diukur dari beberapa hal, salah satunya memperjuangkan dapilnya melalui fungsinya sebagai anggota DPR. Dan itu tidak relate sama sekali dengan KTP yang bersangkutan, apakah harus ber-KTP di dapilnya atau tidak,” kata dia Rifqi pun berpandangan bahwa gugatan mengenai syarat caleg itu berpotensi melanggar hak konstitusional setiap warga negara untuk menjadi anggota legislatif. Sebab, aturan yang diminta tersebut berpotensi menghalangi warga untuk menjadi anggota DPR hanya karena tak ber-KTP asal daerahnya. “Permohonan ini berpotensi untuk kemudian melanggar hak konstitusional warga negara untuk kemudian bisa menjadi anggota DPR, hanya karena yang bersangkutan tidak berasal atau tidak memiliki KTP di daerah yang bersangkutan,” kata Rifqi.
“Dan yang ketiga yang ingin saya katakan adalah bahwa alat ukur dalam pemilu itu adalah sejauh mana ia diterima dan dipilih oleh rakyat. Rakyatlah yang memiliki kedaulatan tertinggi,” ujar dia. Diberitakan sebelumnya, sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Stikubank (Unisbank) Semarang resmi menggugat Undang-Undang (UU) Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menyoroti aturan pencalonan legislatif yang tidak mewajibkan calon anggota legislatif (caleg) tinggal di daerah pemilihan (dapil) yang mereka wakili. Gugatan ini telah teregistrasi di MK dengan nomor perkara 7/PUU-XXIII/2025 dan dijadwalkan menjalani sidang perdana pada Rabu (5/3/2025). Baca juga: Puskapol UI Usul Rekrutmen Kader Parpol Dievaluasi, Hindari Caleg Kutu Loncat dan Minim Gagasan Ahmad Syarif Hidayatullah, salah satu mahasiswa penggugat, mengungkapkan bahwa ide menggugat UU Pemilu ini muncul dari obrolan santai bersama teman-temannya. “Awalnya dari obrolan tongkrongan, kami resah dengan polemik Pilpres dan Pileg kemarin. Banyak calon legislatif yang bahkan tidak berasal dari dapilnya sendiri,” ujar Ahmad saat dikonfirmasi pada Rabu (5/3/2025). Para mahasiswa menuntut agar caleg diwajibkan tinggal di dapil mereka setidaknya selama lima tahun sebelum mencalonkan diri.
Mereka menilai aturan ini penting agar para wakil rakyat benar-benar memahami kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Saat ini, UU Pemilu hanya mensyaratkan bahwa caleg harus bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa ada keharusan untuk berdomisili di dapilnya. Mahasiswa lain, Arief Nugraha Prasetyo, menyatakan keresahan mereka terhadap praktik pencalonan legislatif yang dilakukan partai politik. “Banyak caleg yang dikirim dari pusat ke daerah-daerah, padahal ada putra daerah yang lebih potensial. Kami khawatir mereka yang tidak tinggal di dapilnya tidak mengenali permasalahan lokal,” kata Arief.
Menurut survei yang mereka lakukan, banyak anggota legislatif yang jarang mengunjungi dapilnya setelah terpilih. “Dari catatan kami, ada anggota legislatif yang dalam setahun hanya satu-dua kali turun ke dapilnya,” ungkap Arief. Gugatan ini menjadi sorotan karena menunjukkan kepedulian mahasiswa terhadap kualitas demokrasi dan representasi rakyat dalam sistem politik Indonesia.
Source : Kompas.com